2. Jayanegara(1309-1328)
Mempunyai nama lengkap "Sri Maharaja Wiralandagopala
Sri Sundarapandya Dewa Adhiswara".
Jayanegara dalam serat Pararaton disebut juga
dengan nama Kalagemet. Nama kalagemet bukanlah nama sebenarnya melainkan
sindiran terhadap pribadi Jayanegara. Kalagemet mempunyai arti "raja jahat yang
lemah". Jayanegara adalah putra dari Raden Wijaya bersama istrinya yang bernama Indreswari atau dara Petak dari Kerajaan Melayu Dharmasraya. Ketika dinobatkan
sebagai raja, Jayanegara menggunakan gelar "Sri Maharaja Wiralandagopala Sri
Sundarapandya Dewa Adhiswara”. Selama memerintah Majapahit, Jayanegara
menghadapi banyak pemberontakan diantaranya adalah pemberontakan Nambi, Banyak Wide, Mandana, Pagawal, Ra Semi, dan Ra Kuti.
Jayanegara berhasil menumpas semua
pemberontakan kecuali Ra Kuti yang dibantu oleh Ra Semi.
Ra Kuti dan Ra Semi adalah dua anggota Korps
Dharmaputra yang dibentuk oleh Raden Wijaya ayah Jayanegara. Ra kuti dan
pengikut nya berhasil menduduki kota raja dan menguasai istana. Jayanegara
diselamatkan oleh Gajah Mada dari Korps Bhayangkara dan diungsikan ke desa
Bedander.
Setelah menyembunyikan Jayanegara di desa
tersebut, Gajah Mada menyusun kekuatan untuk menumpas Ra Kuti dan pengikutnya. Gajah
Mada mengembalikan Jayanegara untuk menduduki tahta Majapahit setelah
berhasil menumpas Ra Kuti dan pengikutnya. Karakter Jayanegara yang digambarkan
dengan nama “kalagemet” sebagai raja
jahat yang lemah terlihat dari kisahnya yang melarang kedua saudari tirinya yaitu
Dyah Gitarja dan Dyah Wiyat untuk dinikahi oleh orang lain sebab dia sendiri
yang akan menikahi kedua saudari tirinya itu. Selain itu dikisahkan bahwa Jayanegara suka menggoda istri-istri dari pada abdinya termasuk istri Gajah Mada
dan istri Ra Tanca.
Ra Tanca adalah salah satu anggota Korps Dharmaputra
yang juga sebagai tabib istana. Jayanegara dianggap sebagai raja yang lemah
karena Jayanegara sering menderita sakit-sakitan. Kematian Jayanegara berawal
dari dendam Ra Tanca atas tindakan tidak senonoh Jayanegara terhadap istrinya.
Suatu ketika Jayanegara menderita sakit bisul,
Ra Tanca diminta untuk mengobati nya. Kesempatan itu dipakai Ra Tanca untuk
membunuh Jayanegara. Setelah Ra Tanca membunuh Jayanegara, Gajah Mada langsung
membunuh Ra Tanca tanpa proses peradilan. Hal itu membuka spekulasi bahwa Gajah
Mada sebenarnya terlibat dalam rencana pembunuhan Jayanegara. Konspirasi
pembunuhan terhadap Jayanegara diduga terkait rencana Jayanegara untuk menikahi
kedua saudari tirinya yaitu Dyah Gitarja dan Dyah Yiyata. Setelah Jayanegara
terbunuh, tahta Majapahit dilanjutkan oleh Dyah Gitarja.
3. Dyah Gitarja (1328-1350)
Dyah Gitarja naik tahta menggantikan
Jayanegara yang terbunuh tanpa mempunyai keturunan. Dyah Gitarja adalah anak
Dyah Wijaya dengan istrinya yang bernama Gayatri. Gayatri adalah putri bungsu
Prabu Kertanegara dari empat bersaudara yang keempat-empatnya abdi peristri Dyah
Wijaya. Dyah Gitarja memerintah atas nama ibunya yang seharusnya naik tahta
tetapi tidak bersedia dan memilih menjadi pertapa. Ketika naik tahta Dyah Gitarja menggunakan gelar "Sri Tribhuwanatunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani" yang kemudian lebih dikenal dengan nama Tribhuwanatunggadewi.
Tribhuwanatunggadewi menikah dengan Cakradara
Kertawardhana yang kemudian memerintah bersama sama sebagai penguasa Majapahit.
Perkawinan mereka melahirkan dua orang anak yaitu Dyah Hayam Wuruk dan Dyah
Netarja. Dalam masa pemerintahan Tribhuwanatunggadewi, Majapahit pernah
menghadapi pemberontakan Keta dan Sadeng. Tribhuwanatuggadewi memimpin sendiri
penumpasan pemberontakan itu dibantu oleh Adityawarman dan Gajah Mada. Pada
masa pemerintahan Tribhuwanatunggadewi inilah Gajah Mada dinobatkan sebagai Patih
Amangkubumi atau perdana menteri untuk kerajaan Majapahit. Pada saat
penobatannya Gajah Mada mengucapkan sumpah yang kemudian dikenal dengan sumpah Amukti Palapa. Tribhuwana bersama Gajah Mada dan Adityawarman kemudian berhasil
meluaskan wilayah kekuasaan sampai ke mancanegara. Tribhuwana juga mengutus
Gajah Mada dan Adityawarman untuk menaklukan sisa sisa wilayah Sriwijaya. Gajah
Mada kemudian kembali ke Majapahit sedangkan Adityawarman mendirikan kerajaan
vassal Majapahit, di sana dengan nama Malayapura atau kemudian dikenal dengan
kerajaan Pagaruyung. Ketika Gayatri wafat, Tribhuwana tunggadewi juga
mengakhiri masa kekuasaannya. Dia memilih menjadi anggota dewan penasehat raja
yang disebut "Bhatara Saptaprabhu" dan
menyerahkan tahta kepada putranya Dyah Hayam Wuruk.
4. Dyah Hayam Wuruk (1350-1389)
Dyah Hayam Wuruk naik tahta menggantikan
ibundanya Dyah Gitarja atau Tribhuwanatunggadewi.
Selama memerintah, Hayam muruk yang dibantu
oleh para menterinya Gajah Mada Majapahit mengalami puncak kejayaan. Wilayah
kekuasaan Majapahit sampai ke seluruh nusantara. Namun pada akhir masa pemerintahan
Hayam Wuruk, Majapahit mengalami bibit-bibit keretakan yang pada akhirnya
mengantar kerajaan Majapahit ke masa kemunduran. Hal itu disebabkan Hayam Wuruk
bersama permaisuri nya tidak mempunyai seorang anak laki-laki, sedangkan anak
laki-laki Hayam Wuruk berasal dari selirnya. Sepeninggal Hayam Wuruk tahta
Majapahit di pegang oleh menantunya Wikramawardhana.
5. Wikramawardhana & Kusumawardhani
(1390-1429)
Ketika Hayam Wuruk wafat putrinya yang bernama
Kusumawardhani tidak bersedia dinobatkan menjadi raja dan menyerahkan tahtanya
kepada suaminya Wikramawardhana. Sementara itu Aji Raja Nata Putra Hayam Wuruk
dari salah satu selirnya yang menjadi penguasa di Majapahit timur bergelar "Bhre
Wirabhumi II" merasa lebih berhak menjadi raja dibandingkan Wikramawardhana.
Maka Bhre Wirabhumi Aji Raja Nata melakukan pemberontakan yang kemudian dikenal
dengan perangai Paregreg. Perang ini berlangsung cukup lama yang terjadi dalam
beberapa gelombang. Pada akhirnya Bhre Wirabhumi II Aji Raja Nata terbunuh oleh
Raden Gajah atau Bhre Narapati dengan cara dipenggal kepalanya. Raden Gajah
adalah mahapatih Majapahit kala itu. Perang yang memakan banyak sekali korban
itu kemudian dimenangkan oleh Wikramawardhana. Setelah Bhre Wirabhumi Aji Raja
Nata terbunuh oleh Raden Gajah, Raden Gajah menggantikan kedudukannya sebagai Bhre Wirabhumi III. Meskipun Wikramawardhana berhasil memenangkan peperangan
melawan Bhre Wirabhumi II, namun Majapahit telah kehilangan banyak wilayah di luar
pulau Jawa. Yang melepaskan diri ketika Majapahit dilanda perang saudara. Paska
peperangan itu Wikramawardhana menikahi putri Bhre Wirabhumi II yang menjadi
penguasa dengan gelar Bhredaha II. Dari perkawinan itu lahirlah Dewi Suhita dan
Dyah Kertawijaya. Wikramawardhana sempat mengundurkan diri sebagai raja dan
memilih menjadi pertapa. Kemudian permaisuri nya yang tidak lain adalah Putri
Hayam Wuruk mengambil alih tahta Majapahit. Kusumawardhani yang awalnya tidak
mau dinobatkan dan menyerahkan tahtanya kepada suaminya namun ketika suaminya
yang mengundurkan diri sementara anak-anak Kusumawardhani sudah meninggal
semua, akhirnya Kusumawardhani bersedia melanjutkan pemerintahan suaminya. Kala
itu Majapahit dilanda wabah penyakit dan bencana kelaparan akibat peperangan
yang berkepanjangan. Tak lama kemudian Kusumawardhani wafat akhirnya
Wikramawardhana kembali melanjutkan pemerintahannya untuk mempersiapkan
suksesi, ditunjuklah putrinya Dewi Suhita untuk melanjutkan tahtanya.
6. Aji Ratnapangkaja & Dewi Suhita
(1429-1447)
Wikramawardhana menyerahkan tahta Majapahit
kepada putrinya dewi Suhita atau Bhredaha III kemudian lengser dan melanjutkan hidup
sebagai pertapa untuk mempersiapkan diri menjalani moksa. Setelah naik tahta Dewi Suhita kemudian bergelar "Ratu Ayu Kencana Wungu". Suhita memerintah
bersama suaminya yang bernama Aji Ratnapangkaja yang kemudian bergelar "Bhatara
Hyang Parameswara". Tak lama setelah dinobatkan sebagai penguasa Majapahit, Suhita
menghukum Raden Gajah yang telah membunuh kakeknya Wirabhumi Aji Prajanata
ketika masa perang paregreg. Karena perkawinannya dengan Ratnapangkaja tidak
dikaruniai putra maka sepeninggal Suhita tahta Majapahit beralih ke adiknya
Dyah Kertawijaya.
7. Dyah Kertawijaya (1447-1451)
Dyah Kertawijaya menggantikan Suhita yang lengser tanpa keturunan. Dyah Kertawijaya adalah adik Suhita putra
Wikramawardhana. Ketika diangkat menjadi raja, Dyah Kertawijaya menggunakan
gelar "Sri Wijaya Parakramawardhana". Setelah empat tahun memerintah,
Kertawijaya tidak dapat mempertahankan tahtanya karena digulingkan saudara
tirinya Dyah Wijaya Kumara Putra Wikramawardhana dari istri yang lain.
8. Dyah Wijayakumara (1451-1453)
Dyah Wijayakumara menggulingkan Dyah
Kertawijaya kemudian naik tahta dan bergelar "Rajasawardhana Sangsinagara".
Namun Wijaya Kumura memerintah 2 tahun saja kemudian wafat. Dyah Wijaya Kumara
mempunyai istri yang bernama Bhre Tanjungpura yang kemudian melahirkan 4 orang
anak yaitu Dyah Samara Wijaya atau Bhre Kahuripan, Dyah Wijayakarana atau Bhre
Mataram, Dyah Wijayakusuma atau Bhre Pamotan, dan Dyah Ranawijaya atau Bhre Kertabhumi. Sepeninggal Wijaya Kumara, tahta Majapahit mengalami kekosongan
kekuasaan selama 3 tahun yaitu antara tahun 1453-1456 hal itu disebabkan oleh perebutan kekuasaan
antara Surya Wikrama atau Bhre Wengker melawan Samarawijaya atau Bhre Kahuripan. Surya Wikrama adalah adik Dyah Wijayakumara sedangkan Samarawijaya adalah anak Wijaya Kumara. Hubungan Surya Wikrama dengan Samarawijaya adalah paman dengan
keponakan sekaligus mertua dengan menantu sebab Samarawijaya menikahi anak
Surya Wikrama. Perebutan kekuasaan itu akhirnya dimenangkan oleh Dyah Surya Wikrama dikarenakan Samarawijaya mengalah dan menyerahkan tahta ayahnya ke
paman sekaligus mertuanya.
9. Dyah Suryawikrama (1456-1466)
Dyah Suryawikrama atau Bre Wengker memenangkan
perebutan tahta dengan Samarawijaya yang adalah menantu sekaligus keponakannya
anak dari kakaknya yang menjadi raja terdahulu. Setelah naik tahta Dyah
Suryawikrama bergelar "Girishawardhana". Dyah Suryawikrama memerintah Majapahit
selama 10 tahun. Dyah Suryawikrama digantikan oleh saudaranya Dyah Suraprabhawa
atau Bhre Pandanalas atau salah satu dari putra Dyah Kertawijaya.
10. Dyah Suruprabhawa (1466-1478)
Dyah Suraprabhawa atau dikenal juga dengan
nama Bhre Pandanalas. Setelah naik tahta Dyah Suraprabhawa memiliki gelar "Singha Wikramawardhana".
Singha Wikramawardhana naik tahta menggantikan Dyah Suryawikrama. Pada tahun
1478 keempat putra Wijaya Kumara atau Rajasawardhana sang sinagara yakni Dyah
Samarawijaya atau Bhre Kahuripan, Dyah Wijarakarana atau Bhre Mataram, Dyah Wijayakusuma atau Bhre Pamotan, dan Dyah Ranawijaya atau Bhre Kertabumi melakukan
pemberontakan. Keempat putra Wijaya Kumara itu terhitung sebagai keponakan
Suraprabhawa sebab Suraprabhawa bersaudara dengan Wijaya Kumara dan Surya Wikrama.
Ketiganya adalah anak anak Wikramawardhana. Dalam pemberontakan itu Suraprabhawa atau Singa Wikramawardhana gugur. Namun dipihak keempat putra
Wijaya Kumara juga ada yang gugur yaitu Dyah Samarawijaya atau Bhre Kahuripan
putra sulung dari keempat saudara tersebut.
11. Dyah Wijayakarana (1478-1486)
Dyah Wijayakarana atau Bhre Mataram naik tahta
karena bersama tiga saudaranya berhasil menggulingkan Dyah Suraprabhawa atau Singa Wikramawardhana. Dyah Wijayakarana naik tahta karena kakak sulung dari 4
bersaudara Putra Wijaya Kumara memberontak kepada Singa Wikramawardhana gugur.
Wijayakarana adalah anak kedua dari keempat bersaudara itu. Wijayakarana
menggunakan gelar abhiseka keprabuan "Girindrawardhana Wijayakarana". Sejak
tahta Majapahit berada di kekuasaannya, pusat kekuasaan dipindahkan ke Daha ketika Wijayakarana mangkat pada tahun 1486
tahta dilanjutkan oleh adiknya yaitu Dyah wijayakusuma atau Bhre Pamotan. Namun
tak genap 1 tahun adik bungsunya yaitu Dyah Ranawijaya atau Bhre Kertabumi merebutnya.
12. Dyah Ranawijaya (1486-1527)
Dyah Ranawijaya atau Bhre Pamotan adalah anak
bungsu dari empat putra Wijaya Kumara yang memberontak kepada pamannya Suraprabhawa atau Singa Wikramawardhana. Dyah Ranawijaya juga sebenarnya adalah
menantu Suraprabhawa Singa Wikramawardhana. Ketika menduduki tahta Majapahit,
Dyah Ranawijaya menggunakan gelar abhiseka keprabuan dengan nama "Girindrawardhana
Dyah Ranawijaya". Dyah Ranawijaya adalah raja Majapahit terakhir peninggalannya
berupa prasasti jiyu atau prasasti trailokyapuri yang dibuat pada tahun 1486.
Prasarti itu dibuat sebagai penghormatan kepada Sang Mohtah Ring Indra Bhuwana.
Ada beberapa tafsir mengenai siapa Sang Mohtah Ring Indra Bhuwana. Karna tidak
ada raja Majapahit yang wafat di Indrabhuwana maka kemungkinan yang dimaksud
adalah Ibunda Dyah Ranawijaya yaitu Manggala Wardani yang pernah menjabat
sebagai Bhre Tanjungpura. Prasarti itu juga menyatakan Dyah Ranawijaya
memberikan penghargaan kepada seorang brahmana yang memimpin upacara sradha
memperingati 12 tahun wafatnya Sang Mohtah Ring Indrabhuwana, Brahmana itu
bernama Brahmaraja Ganggadara. Dibawah pemerintahan Ranawijaya, Majapahit
mengalami kehancuran yang akhirnya menjadi bawahan Kesultanan Demak. Dengan
demikian berakhirlah masa kemaharajaan Majapahit atau WILWATIKA setelah berdiri
3 abad lamanya.
Tidak ada komentar